Abdul Qahir Al
Jurjani,
Penggagas Ilmu
Bayan.[1]
Prolog
Perubahan zaman yang terus bergilir membuat kita sering melupakan sejarah masa
lalu umat manusia hingga tak jarang di antara kita buta akan silsilah nasab
kita sendiri. Akan tetapi, hal yang cukup menakjubkan adalah ada suatu hal yang mampu membuat manusia akan terasa selalu
hidup dalam setiap zaman hingga menjadikannya landasan rujukan dan merupakan
wujud eksistensi, hal tersebut adalah karya. Dari karya itulah kita akan lebih
mengenal sosok penulisnya.
Maka dalam pembahasan kali ini, penulis berusaha mengenal
lebih dalam seorang tokoh yang berjasa besar dalam dunia tata bahasa melalui beberapa karyanya yang monumental hingga saat ini tak pernah lekang termakan
waktu.
Oleh
karena itu, sebelum memasuki
pembahasan tentang karya yang fenomenal tersebut, tak pantas rasanya bila penulis melupakan penggagas
karya tersebut. Maka dalam pembahasan pertama dalam tulisan ini, penulis akan sedikit memaparkan perihal biografi singkat
sastrawan besar pada abad ke lima hijriyah ini. Meski demikian, pembahasan kali ini
bukanlah pemaparan secara merinci mengenai kehidupannya, melainkan hanya
sedikit menggambarkan perihal kehidupan sang sastrawan yang kiranya dapat
mewakili pengetahuan kita akan tokoh besar ini.
Cuplikan Singkat Biografi Abdul Qahir Al Jurjani
Bernama
lengkap Abu Bakar Abd
al-Qāhir bin Abd ar-Rahman bin Muhammad al-Jurjāni, seorang sastrawan Persia yang lahir pada abad keempat
hijriyah, tepatnya pada tahun 377 H di kota Gorgan, Iran.[3]
Dikisahkan,
Gorgan merupakan kota yang sangat indah yang terletak di antara Tabaristan dan Khurasan
seperti yang sering diutarakan oleh para penyair dalam berbagai gubahan
sya'irnya yang menggambarkan
keindahan kota Gorgan.
Tak heran, bila kota tersebut menjadi perebutan penguasa pada saat
itu hingga jatuhnya kekuasaan atas kota tersebut ke tangan para penguasa Saljuk pada tahun 433 H dimana menterinya pada saat itu ialah Abi Ali hasan Bin Ali,
pendiri madrasah Nizhamiyah, yang merupakan madrasah pertama yang pernah ada.
Oleh
karena itu, Gorgan menjadi salah satu wilayah sentral perhelatan politik yang teramat deras yang menjadikan penduduknya terlena hingga melupakan perkembanagan
pelbagai disiplin ilmu yang ada ketika itu.
Kondisi
demikian memupuk kesadaran dalam
diri Al-Jurjani menyoal pentingnya disiplin ilmu, terutama
diskurus bahasa dan gramatikalnya yang dianggap sebagai dimensi dasar
pematangan intelektual berbagai diskursus lainnya demi memekarkan kembali
peradaban Islam. Maka ia berusaha
mendalami ilmu tersebut pada gurunya, di antara gurunya yang
paling dikenal adalah Abi al-Hussein
Muhamad bin Husein bin Muhammad bin Hassan al-Abd al-Wareth al-Faressi
al-Nawawi,
yang mengajarkan Al jurjani perihal Al Iydah hingga ia mampu menghasilkan buku
dengan judul al Maghna Syarah al-Idah.[4] Akan tetapi, dikarenakan kuantitas buku al-Maghna
yang terdiri dari 30 jilid pada saat itu, maka Al Jurjani
meringkasnya dengan menuliskan buku al Muqtashar.
Abi Hussein merupakan guru besar al Jurjani dan juga
merupakan guru satu-satunya yang berpengaruh besar pada diri al Jurjani.
Sedangkan, beberapa sumber lainnya menerangkan beberapa lain yang disebut-sebut sebagai guru al Jurjani, tetapi hal itu ditolak berdasarkan keterangan beberapa fakta yang melemahkan
data tersebut, seperti yang
diungkapkan Ahmad Mathlub dalam bukunya tentang Al jurjani.
Kesadaran akan pentingnya disiplin tata bahasa tersebut
menjadikan al Jurjani salah seorang dari tokoh sastrawan besar di zamannya,
hingga namanya disandingkan dengan Ali bin Abd Aziz Al Jurjani, dua tokoh
satrawan besar pada abad kelima yang berdedikasi tinggi dalam gerakan keilmuan
pada saat itu.[5]
Tentu, niat
dan usaha takkan lepas dari ragam tantangan dan rintangan yang pasti
menghadang. Demikian pula dengan usaha
yang dilakukan Al Jurjani tidak selalu berjalan mulus, banyak kalangan menentang keras diskursus ilmu bayan, yang merupakan cabang dari retorika bahasa Arab yang berhubungan
dengan metafora bahasa.
Hal demikian dapat dimaklumi, kondisi sosial
kemasyarakatan di Dunia Islam pada saat itu, yang masih bertaklid buta dalam
reaksi pengagungan
sisi-sisi kemukjiazatan Al Qur’an hingga sampailah Al-Jurjani pada suatu titik yang dapat mencerahkan kaumnya
dan menggugah mereka akan pentingnya ilmu bayan tersebut, yakni dengan
menelurkan bukti-bukti yang menunjukan keterkaitan antara ilmu bayan, nahwu dan
syair yang dapat digunakan sebagai titik tolak penafsiran al Qur’an sebagai
mukjizat, yang tidak hanya dilihat dari pemilihan diksinya dan bukan pula dari
hanya dari maknanya saja, tetapi juga dari retorika bahasa yang terdapat dalam
al Qur’an.
Adapun beberapa murid-murid al Jurjani antara lain :
Yahya Bin Ali Khatib, Abi Nasr Ahmad Bin Ibrahim Bin Syajari dan Ali Bin Zaid
Alfayahi.
Pun, mereka telah menyebarkan
ilmunya di Irak dan di Baghdad sesuai dengan apa yang telah ia pelajari dari Al
Jurjani.
Apabila ditelisik
lebih jauh perihal keadaan keluarga Al Jurjani, maka kita hanya akan
mendapatkan keluarga kecil dan sangat sederhana, yang tidak bergelimang harta
maupun emas, tapi kondisi demikianlah yang menempanya untuk zuhud.
Dikisahkan, ketika Al-Jurjani shalat, seorang maling masuk
dalam rumahnya dan mengambil seluruh barang yang terdapat dalam rumah
itu, meskipun ia melihat pencuri tersebut, tapi tak sedikitpun ia bergerak meninggalkan shalatnya
dan mengorbankan hartanya demi shalatnya. Sungguh kisah sederhana yang
sirat akan makna. Keistimewaan Al-Jurjani yang tidak dimiliki oleh seluruh
sastrawan-sastrawan lainnya kecuali hanya beberapa saja adalah daya analisa
yang ia milikinya, hal tersebut ia buktikan dalam beberapa analisanya tentang
berbagai karya sastrawan-satrawan lainnya seperti Sibaweh dan Jahidz, begitupun
teori yang ia gunakan dalam membahas pelbagai pembahasan sastra dan retorika bahasa, meskipun menggunakan bahan
landasan dan titik tolak yang sama, tetapi ia berusaha melihat dari pelbagai
sisi yang berbeda. Sastrawan besar ini meninggalkan dunia pada abad ke
lima pada tahun 474 H meskipun tahun
terdapat perbedaan pendapat perihal tahun meninggalnya akan tetapi beberapa
pendapat menguatkan bahwa pada tahun tersebut ia wafat. [6]
Kiranya, torehan diatas mampu mewakili gambaran singkat tentang
seorang sastrawan besar dan harus diakui penulis bahwa penulisan biografi
kehidupan seorang tokoh besar seperti al Jurjani sesungguhnya tidak cukup hanya
dituangkan dalam torehan kecil ini. Akan tetapi, yang amat disayangkan adalah, kini banyak pembahasan tentang retorika bahasa beserta
cabang-cabangnya, tetapi hanya mengambil formulanya saja tanpa mempelajari lebih dalam
perihal kehidupan peracik formula
tersebut.
Maka akan sangat jarang kita temui pembahasan yang
mempelajari sosok-sosok hebat dibalik karya yang fenomenal, kecuali hanya beberapa dari mereka yang menyadari akan
pentingnya perihal tersebut.
Setelah membahas tentang biorafi sang sastrawan maka layaknya kini kita akan
membahas sepak terjangnya dalam sastra bahasa arab pada abad ke lima hingga
jejaknya yang diikuti oleh sastrawan-satrawan yang lahir setelahnya.
Abdul Qahir Al Jurjani dan Ilmu Bayan.
Telah diutarakan penulis sebelumnya, bahwa nama Al
Jurjani sering kali dikaitkan dengan salah satu cabang retorika bahasa yang
kerap dikenal dengan Ilmu Bayan. Kerap kali menjadi pertanyaan, mengapa ia
lebih sering dihubungkan dengan ilmu tersebut daripada cabang-cabang ilmu
retorika bahasa lainnya, padahal pada saat itu ia bukanlah satu-satunya
sastrawan yang mengeksplorasi ilmu tersebut. Pun, ia tidak hanya menelurkan
karyanya pada cabang ini saja, tetapi ia juga mendalami berbagai cabang ilmu
tersebut yang lainnya seperti ilmu Ma’ani dan ilmu Badi’? Dalam paparan singkat
ini, penulis berusaha menerangkan sedikit penjelasan perihal
permasalahan tersebut.
Ilmu bayan secara epistimologi dapat diartikan sebagai
sebuah cabang ilmu yang membahas tentang penataan suatu makna hingga dapat
disajikan dengan beragam cara, tetapi tetap memiliki nilai dan petunjuk yang
berkaitan dengan maksud yang ingin disampaikan.[7]
Pengertian tersebut telah disetujui beberapa sastrawan-sastrawan lainnya, diantaranya adalah Zamakhsyari penulis tafsir al-Kasyaf. Hal ini diperjelas dengan contoh sebagai berikut
:
( جاءتني ليلي ------ ليلي
جاءتني )
Dua kalimat diatas mempunyai arti
yang sama akan tetapi dengan tatanan bahasa yang berbeda. Tentu, tatanan yang
berbeda ini bukan hanya kebetulan saja, tetapi mempunyai maksud tertentu
yang dituju. Menurut Ibn Khaldun
dalam bukunya Al Muqodimah, ia menerangkan bahwa dalam tatanan diatas,
kata yang didahulukan menyimpan makna lebih didahulukan daripada kata yang
datang selanjutnya, seperti kalimat (جاءتني ليلي). Maka, seseorang yang
mengutarakan hal demikian, lebih mementingkankan kehadiran Laila daripada
sosoknya. Sedangkan, seseorang yang mengutarakan (ليلي جاءتني ) maka makna yang terkandung
adalah ia lebih mengedepankan sosok Laila daripada kehadirannya.[8]
Berbicara menengenai disiplin ilmu bahasa,
tentu tidak
akan terlepas dari bagian-bagian ilmu tersebut, terutama perihal penyusunan syair. Penyusunan syair dapat diartikan
sebagai penyelarasan satu kata dengan kata lainnya hingga menghasilkan
kausalitas yang berhubungan.[9]
Hal tersebut telah ada sejak dahulu,
bertepatan pada saat umat manusia lebih difokuskan perihal pencarian titik-titik
kemukjizatan Al Qur’an.
Ketika Al Jurjani mempelajari ilmu
nahwu dan ia mengekplorasi ilmu tersebut hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa
adanya keselarasan dalam ilmu tersebut sebenarnya tidak terlepas dari sisi-sisi
kemukjizatan al Qur’an. Hal tersebut dibuktikan oleh sastrawan yang datang
setelahnya yang menemukan keserasian antara ilmu tersebut dengan sejenisnya
dalam memahami kemukjizatan Al Qur’an. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang
mengasumsi bahwa ilmu bayan terlebih susunan syair menduduki posisi yang lebih
tinggi daripada cabang retorika bahasa lainnya, di antara tokoh-tokoh tersebut
adalah Abu Abdullah Muhamad Bin Yazid Al Washati (306 H) dalam bukunya “I’jaz
Al-Qur’an fi Nadzmihi wa Tafsilihi”, Abu Sulaiman Ahmad bin Muhamad bin
Ibrahim al Hitaby (388 H), Abu Bakar Muhamad bin Thayib al Baqilani ( 403
H ), serta Al-Qadhi Abdul Jabar Al-Asad Al-Abadi (415 H).[10]
Kondisi susunan syair yang sebelumnya tak dihiraukan, pada abad kelima berubah
menjadi sorotan eksplorasi oleh al Jurjani. Maka mulai saat itu, ilmu ini mulai
berkembang dikalangan sastrawan, meskipun ada beberapa sastrawan yang
menganggap bahwa syair beserta bagian-bagiannya, terlebih Tasybih, Isti’arah dan
Majaz, sangat berkaitan sekali dengan kebohongan, karena mereka memposisikan
kata tidak pada tempatnya, tetapi hal tersebut tidak diamini oleh Al-Jurjani.
Menurutnya meskipun demikian adanya, tetapi syair beserta susunan pembentuknya
tidaklah demikian. Karena, meski ia meletakan suatu kata tidak pada posisinya,
tetapi ia memakai hal tersebut karena adanya relevansi makna, baik itu dari
asasnya ataupun dari cabang-cabangnya.[11]
Menurut Al Jurjani syair yang bermutu adalah syair yang
mempunyai daya sentuh dan dihasilkan dari pengamatan yang mendalam
terhadap suatu peristiwa, seperti peristiwa terbit dan
terbenamnya matahari yang disaksikan oleh seluruh umat manusia.
Dari sini dapat dilihat, bagaimana seorang penyair yang
handal dapat mengamati gerakan-gerakan tersebut secara mendetail, yang tidak
hanya melihat dari globalnya saja, tetapi juga melihat ke
bagian-bagian partikularnya, dan menuangkannya dalam kata-kata yang indah
hingga dapat dinikmati oleh halayak ramai.[12]
Meskipun para pakar kritik sastra sering kali tidak sependapat dengan al
Jurjani, tetapi dalam permasalahan ini mereka menyetujui pendapat al Jurjani. Bahkan
ditambahkan pula bahwa syair yang baik mempunyai
daya
efektifitas dari syair yang dihadirkan. Selain hal tersebut, ada satu hal lagi yang pendapat mereka tidak bertentangan
yakni pengutamaan Isti’arah daripada Tasybih.[13]
Apabila kita mengeksplorasi ilmu
bayan lebih dalam, maka kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya gagasan dan
ide tersebut sudah ada, bahkan sebelum datangnya Islam, yakni sejak masa Aristoteles.
Akan tetapi gagasan tersebut belum matang hingga Abu Ubaidah yang merupakan
murid Khalil Ahmad menuangkannya dalam bukunya.
Akan tetapi, karya tersebut belum sempurna, hingga diracik dan dimatangkan kembali oleh Abdul
Qahir Al Jurjani.[14]
Oleh sebab itu, para sastrawan yang hadir setelah Al-Jurjani hanya menambah dan mengisi kekurangan dari
manuskrip Al Jurjani. Maka tak ayal, bila nama Al-Jurjani kerap dikenal dengan
berkibarnya nama ilmu Bayan. Meski demikian, dia tidak mengesampingkan cabang
ilmu lainnya.
Dari paparan di atas, kita dapat
menggambarkan Al Jurjani sebagai seorang sastrawan besar yang
banyak menghasilkan konstribusi bagi ilmu retorika bahasa, diantaranya adalah :
1.
Pengeksplorasiaan dalam
karakteristik metafora dalam sastra
arab,
2.
Pemecahan Isti’arah menjadi bagian yang bermutu dan bagian yang kurang
baik,
3.
Klasifikasi jenis Isti’arah,
4.
Menjadikan pembahasan Isti'arah
mengkristal terutama pada abad kelima,
5.
Menghasilkan konsep konsistenitas
dalam Isti'arah yang tidak berbeda dengan para sastrawan sebelumnnya, tapi dengan konsep yang lebih matang.[15]
Meskipun demikian Al-Jurjani hanyalah manusia biasa yang tak akan pernah
luput dari kesalahan, begitupun dalam
usahanya ini, adapun beberapa hal tersebut :
1.
Dalam pembahasan al Jurjani
perihal Isti'arah ia lebih mengedepankan nalar seorang ahli kalam daripada
nalar mantiknya.
2.
Ia menjadikan sastrawan-sastrawan
hanya disibukan dengan ragam pembagiannya dan melengahkan
mereka dalam mencari tahu akar sumber
teori tersebut
3.
Dengan pemecahan klasifikasi
syair yang baik maka ia seakan membuat tasybih adalah suatu usaha yang
diciptakan dan bukan lahir dari nalar, hal ini bertentangan dengan banyak
sastrawan yang menganggap bahwa syair adalah suatu gerakan spontanitas .
4.
Dalam klasifikasinya yang
menjadikan ketelitian dan pemecahan dalam Tasybih sebagai akar dari syair,
menjadikannya berbeda pendapat dengan sastrawan lainnya yang menganggapnya
bukan sebagai akar meskipun, bahkan mereka tidak memungkiri untuk menjadikannya
sebagai landasan.[16]
Walaupun
demikian, apabila dilihat dari sisi lain, maka kita akan terpana menyaksikan
seorang sastrawan yang menekuni ilmunya dengan tujuan mulia yakni untuk
berkhidmat untuk agamanya dan agar ia dapat menolak dan menentang bid’ah-bid’ah
yang muncul di sekelilingnya dengan bukti dan dalil yang kuat. Maka tak heran, bila gerakan al Jurjani ini selalu berada dalam mainframe agama.
Setelah mempelajari pengaruh Al-Jurjani
pada bidang sastra dan dedikasinya yang tinggi terhadap agama islam, maka kini
kita menelisik beberapa karyanya yang hingga kini masih digunakan
sebagai rujukan dan tak pernah punah termakan oleh zaman.
Sekilas Pandang Asrar
Balaghah dan Dalail I’jaz.
Kitab Asrar Balaghah pada abad modern ini hadir di
abad 20 lebih tepatnya pada tahun 1902 M / 1320 H yang merupakan hasil kerja
keras dan upaya seorang rekonstruktor mesir pada saat itu yaitu Imam Muhamad
Abduh, setelah kembalinya dari pengasingan selama bertahun-tahun dan juga
setelah ia diangkat menjadi mufti.[17]
Adapun kisah menarik yang diungkapkan salah seorang
muridnya yang ternama, Rasyid Ridhâ, ketika ia datang ke Mesir untuk menemui gurunya perihal
pembukuan tafsir al Manâr,
ia dikejutkan ketika mendapatkan bahwa sang guru ketika itu sedang disibukan
dengan pembukuan kembali karya Al Jurjani setelah sekian lama karya tersebut
hampir hilang dan terlupakan.
Tentu, usaha yang membutuhkan tenaga yang cukup keras ini, Muhamad Abduh lakukan dengan landasan yang kuat dan
dorongan kesadaran akan pentingnya karya fenomenal ini. Dapat disebutkan, bahwa
pembukuan kembali karya fenomenal ini bukanlah hal yang mudah, karena untuk
penyusunannya kembali membutuhkan manuskrip Al-Jurjani yang otentik.
Hal demikian diungkapkan oleh Mahmud Muhamad Syakir ketika ia berusaha membukukan
kembali buku tersebut, ia menerangkan beberapa kesulitan yang ia hadapi dalam
mendapatkan rujukan manuskrip yang otentik tersebut hingga akhirnya ia
mendengar terdapat beberapa kota yang masih menyimpan karya asli Al jurjani dan
diantaranya di Syam oleh Abdul Qadir Al Maghribi serta Dar Sultan Usmaniyah
akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut ternyata semuanya telah lenyap hingga
akhirnya Mahmud Muhamad Syakir menjadikan hasil pembukuan kembali yang
dilakukan oleh Al-Jurjani sebagai salah satu rujukan dalam tulisannya yang
mencari akan keotentikan karya al Jurjani.
Akan tetapi, ia merasa bahwa pembukuan tersebut masih
kurang, hingga ia mendapatkan bahwa Ratcher, seorang
orientalis, menjadikan beberapa buku
klasik yang ia dapatkan sebagai rujukan, tiga diantaranya adalah : cetakan
Faydullah ( 947 H ), cetakan Hamidiyah ( 943 H ) serta cetakan Murad.[18]
Maka, selain pembukuan yang dilakukan kembali oleh Muhamad
Abduh dan Ratcher, Mahmud Muhamad Syakir menjadikan tiga buku diatas pula
sebagai landasannya walaupun masih terdapat beberapa perbedaan dalam tiga
cetakan tersebut.
Selain menjadikan hasil pembukuan kembali Muhamad Abduh
dan Ratcher sebagai rujukan maka iapun membahas kembali dan meneliti akan
beberapa kekeliruan yang terdapat dalam kedua buku tersebut, hingga ketika Rashid Ridha menyatakan bahwa gurunya
telah mengganti beberapa tulisan dalam buku tersebut, setelah ia analisa
kembali ia tidak mendapatkan perihal yang diungkapkan Rashed Ridha, kecuali hanya sedikit saja.
Adapun
pembukuan yang dilakukan Ratcher sudah dapat dikatakan pembukuan yang baik, hanya saja menurutnya, gaya penulisan Ratcher saja yang masih sedikit kaku dan
ia banyak sekali mengutip syair-syair yang menurutnya tidak terlalu urgen untuk
dikutip.[19]
Berselang
setahun setelah penyusunan kembali buku Asrar Balaghah yang dilakukan oleh
Muhamad Abduh, ia telah berusaha untuk menyusun kembali salah satu karya Al
Jurjani yang lain yakni buku Dalail i’jaz,[20]
dan setelahnya hadirlah beberapa tokoh lainnya yang mengusahakan kembali
pembukuan buku tersebut.
Maka tidak berlebihan bila disebutkan bahwa Muhamad Abduh
sang inspirator yang menginspirasi beberapa tokoh setelahnya untuk melakukan
usaha pembukuan kembali karya yang hampir terlupakan tersebut dan salah satu
dari tokoh tersebut adalah Mahmud Muhamad Syakir yang telah disebutkan penulis
sebelumnya dalam usahanya pembukuan kembali buku Asrar Balaghah.
Dalam pembukuan kembali buku Dalail I’jaz ini, ia
tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam mendapatkan manuskrip Al-Jurjani
yang otentik dikarenakan masih terdapat beberapa daerah yang memiliki manuskrip
tersebut, diantaranya di Turki yang masih menyimpan manuskrip tersebut pasca 97
tahun meninggalnya Al Jurjani yakni tepatnya pada tahun 568 H di Husein Jalbi
Ma'ani yang berjumlah 203 halaman.
Selain tempat tersebut, As’ad Afandi pun masih menyimpan
manuskripnya pada perkisaran abad ke 6-7 H selain di Turki, Madinah dan Baghdad pun masih terdapat
manuskrip Dalail I’jaz, tentu hal ini sangat membantu Mahmud Muhamad
Syakir dalam pembukuannya terhadap karya al Jurjani. Akan tetapi, usaha yang ia
lakukan tidak akan pernah lepas dari pelbagai problem yang menyapanya. Dan, ketika
melakukan pembukuan ini ia mengungkapkan akan beberapa kesulitan yang ia hadapi
karena terdapat beberapa tulisan yang mempunyai makna yang masih samar serta
pembaban serta pembukuan Dalail I’jaz yang menurutnya kurang sesuai, hingga
ia membaca tulisan Abdul Jabar yang
hidup pada tahun 415 H. Ketika itu ia seolah mendapatkan jawaban akan beberapa
pertanyaan yang membuatnya dilema dan menjelaskan perihal yang ia anggap gamang
sebelumnya.
Adapun pembukuan dan penjilidan yang menurutnya kurang
baik tersebut,
ternyata hal tersebut dapat dimaklumi, melihat perhelatan politik yang menekan Al Jurjani pada masa tersebut dan terlebih karena ternyata karya
tersebut ia tulis menjelang hari-hari terakhirnya.[21]
Selain Dalail I’jaz dan Asrar Balaghah
masih tedapat beberapa karya al Jurjani lainnya :
1. Al-Madkhol fi Dalail I’jaz
2. Araul Jurjani
3. Al-I’jaz
4. Al-Maghna
5. Al-Muqtashad
6. Al-Awamil al mi’ah
7. Al-Jamal
8. Al-Talkhis
9. Al-Umdah fi Tasrif
10. Al-Iqna’ fi arudl wa takhrij qawafi
11. Mukhtar Ikhtiyar
12. Al-Tadzkarah
Akan tetapi, yang disayangkan terdapat beberapa dari
buku-buku diatas yang hanya dapat kita ketahui namanya saja tanpa dapat kita
ketahui kandungan dalam buku tersebut dikarenakan telah musnah dan hilangnya
buku-buku tersebut.
Epilog.
Kita tidak mampu mengenal tokoh-tokoh besar yang hidup
berabad-abad sebelum kita kecuali hanya melalui karyanya. Hal serupa yang
penulis rasakan dalam mempelajari perihal kehidupan sastrawan besar ini, kalau
bukan dari karya yang diwariskan oleh para pendahulu kita, maka kita tidak akan
mengenalnya, terlebih kita tidak akan tertarik dalam mendalami sosoknya lebih
dalam maka kiranya dengan beberapa karya yang diwarisi al Jurjani membuat
pencerahan bagi kita dalam mempelajari sastra terlebih dalam permasalahan
sastra arab karena bangsa arab kaya akan kebudayaan dan sastra.
Daftar Pusaka
1.
Dalâil Al- I’jâz, karya Al Imam abdul Qahir al Jurjani, cetakan Darul
Ma’rifah, Beirut.
2.
Dalâil Al- I’jâz, karya Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman bin
Muhamad Al Jurjani an Nahwi, cetakan Dârul Madani, Jedah.
3.
Asrâr Al-Balaghah, karya Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman bin
Muhamad Al Jurjani Al-Nahwi, cetakan Darul Madani, Jeddah.
4.
Jawâhir Al-Balâghah,
karya As-sayid Ahmad Al-Hasyimi, cetakan Muasasah Al Mukhtâr.
5.
Al-Shûrah Al-Fanniyah, karya DR Jabir Ahmad Ushfûr, cetakan Dârul Ma’ârif,
Mesir.
6.
Al-Jurjani ; Balâghatuhu wa Naqduhu, karya Ahmad Mathlub, cetakan Al-Matbû’ât Al-Matbû’ât,
Beirut.
7.
Wikipedia.
[1] Makalah ini dipresentasikan pada kajian
eksklusif Salsabila Studi Club pada 24 Juli 2010.
[2] Penulis saat ini tercatat sebagai Mahasiswi
baru Fakultas Dirasat Islamiyah Jurusan bahasa arab Universitas Al Azhar,
Kairo.
[3] Ahmad Mathlub, AL-Jurjani; Balaghatuhu wa Naqduhu, Wakâlat Al-Matbu’ât,
Beirut. Hal 11.
[4] Wikipedia.
[5] Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu
wa Naqdhu, Op. Cit., Al-Matbû’ât Al-Matbû’ât, Beirut hal 14.
[6] Ibid, hal 24.
[7] As-Sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawâhir Al-
Balâghah, Muasasah Al-Mukhtâr, hal 4.
[8] Ibid, hal
.. .
[9] Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu
wa Naqdhu, Op. Cit Wikâlat
Matbu’at, Beirut hal 51
[10] Ibid, 54.
[11] DR Jabir Ahmad Ushfûr, Al-Sûroh
Al Fanniyah, cetakan Dârul Ma’ârif, Mesir. Hal 142.
[13] Ibid, hal 269.
[14] As-sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawahir
Balaghah, Op. Cit Muasasah A- Mukhtâr hal 205
[15] DR
Jabir Ahmad Ushfur, Al-Sûroh Al Fanniyah, cetakan Darul Ma’ârif, Mesir. hal
272.
[16] Ibid,
hal 209
[17] Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu
wa Naqdhu, Op. Cit Wikâlat Al-Matbû’ât,
Beirut, hal 37.
[18] Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman
bin Muhamad AlJurjani Al-Nahwi, Asrâr Al-Balâghah, cetakan Dârul
Madani, Jedah. Hal 4
[19] Ibid, hal 6.
[20] Al-Imam Abdul Qahir Al-Jurjani, Dalâil
Al-I’jaz, Dârul Ma’rifah,
Beirut. Hal 5
[21] Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman
bin Muhamad Al-Jurjani AL-Nahwi, Dalail I’jaz, Dârul Madani, Jeddah.
[22]
Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu wa Naqdhu, Op. Cit Wikalât Al-Matbû’ât, Beirut, hal 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar