Minggu, 24 Juni 2012


    
Abdul Qahir Al Jurjani,
Penggagas Ilmu Bayan.[1]


Prolog
Perubahan zaman yang terus bergilir  membuat kita sering melupakan sejarah masa lalu umat manusia hingga tak jarang di antara kita buta akan silsilah nasab kita sendiri. Akan tetapi, hal yang cukup menakjubkan adalah ada suatu hal  yang mampu membuat manusia akan terasa selalu hidup dalam setiap zaman hingga menjadikannya landasan rujukan dan merupakan wujud eksistensi, hal tersebut adalah karya. Dari karya itulah kita akan lebih mengenal sosok penulisnya.
Maka dalam pembahasan kali ini, penulis berusaha mengenal lebih dalam seorang tokoh yang berjasa besar dalam dunia  tata bahasa melalui beberapa karyanya yang monumental  hingga saat ini tak pernah lekang termakan waktu.
Oleh karena itu, sebelum memasuki pembahasan tentang karya yang fenomenal tersebut, tak pantas rasanya bila penulis melupakan penggagas karya tersebut. Maka dalam pembahasan pertama dalam tulisan ini, penulis akan sedikit memaparkan perihal biografi singkat sastrawan besar pada abad ke lima hijriyah ini. Meski demikian, pembahasan kali ini bukanlah pemaparan secara merinci mengenai kehidupannya, melainkan hanya sedikit menggambarkan perihal kehidupan sang sastrawan yang kiranya dapat mewakili pengetahuan kita akan tokoh besar ini.

Cuplikan Singkat Biografi Abdul Qahir Al Jurjani
Bernama lengkap Abu Bakar Abd al-Qāhir bin Abd ar-Rahman bin Muhammad al-Jurjāni, seorang sastrawan Persia yang lahir pada abad keempat hijriyah, tepatnya pada tahun 377 H di kota Gorgan, Iran.[3] Dikisahkan, Gorgan merupakan kota yang sangat indah yang terletak di antara Tabaristan dan Khurasan seperti yang sering diutarakan oleh para penyair dalam berbagai gubahan sya'irnya yang menggambarkan keindahan kota Gorgan.
Tak heran, bila kota tersebut menjadi perebutan penguasa pada saat itu hingga jatuhnya kekuasaan atas kota tersebut ke tangan para penguasa Saljuk pada tahun 433 H dimana menterinya pada saat itu ialah Abi Ali hasan Bin Ali, pendiri madrasah Nizhamiyah, yang merupakan madrasah pertama yang pernah ada.
Oleh karena itu, Gorgan menjadi salah satu wilayah sentral perhelatan politik yang teramat deras yang menjadikan penduduknya terlena hingga melupakan perkembanagan pelbagai disiplin ilmu yang ada ketika itu.
Kondisi demikian memupuk kesadaran dalam diri Al-Jurjani menyoal pentingnya disiplin ilmu, terutama diskurus bahasa dan gramatikalnya yang dianggap sebagai dimensi dasar pematangan intelektual berbagai diskursus lainnya demi memekarkan kembali peradaban Islam. Maka ia berusaha mendalami ilmu tersebut pada gurunya, di antara gurunya  yang paling dikenal adalah Abi al-Hussein  Muhamad bin Husein bin Muhammad bin Hassan al-Abd al-Wareth al-Faressi al-Nawawi, yang mengajarkan Al jurjani perihal Al Iydah hingga ia mampu menghasilkan buku dengan judul al Maghna Syarah al-Idah.[4] Akan tetapi, dikarenakan kuantitas buku al-Maghna yang terdiri dari 30 jilid pada saat itu, maka  Al Jurjani meringkasnya dengan menuliskan buku al Muqtashar
Abi Hussein merupakan guru besar al Jurjani dan juga merupakan guru satu-satunya yang berpengaruh besar pada diri al Jurjani. Sedangkan, beberapa sumber lainnya menerangkan beberapa lain yang disebut-sebut sebagai guru al Jurjani, tetapi hal itu ditolak berdasarkan keterangan beberapa fakta yang melemahkan data tersebut, seperti yang diungkapkan Ahmad Mathlub dalam bukunya tentang Al jurjani.
Kesadaran akan pentingnya disiplin tata bahasa tersebut menjadikan al Jurjani salah seorang dari tokoh sastrawan besar di zamannya, hingga  namanya disandingkan dengan  Ali bin Abd Aziz Al Jurjani, dua tokoh satrawan besar pada abad kelima yang berdedikasi tinggi dalam gerakan keilmuan pada saat itu.[5]
Tentu, niat dan usaha takkan lepas dari ragam tantangan dan rintangan yang pasti menghadang. Demikian pula dengan usaha yang dilakukan Al Jurjani tidak selalu berjalan mulus, banyak kalangan menentang keras diskursus ilmu bayan, yang merupakan cabang dari retorika bahasa Arab yang berhubungan dengan metafora bahasa.
Hal demikian dapat dimaklumi, kondisi sosial kemasyarakatan di Dunia Islam pada saat itu, yang masih bertaklid buta dalam reaksi pengagungan sisi-sisi kemukjiazatan Al Qur’an hingga sampailah Al-Jurjani pada suatu titik yang dapat mencerahkan kaumnya dan menggugah mereka akan pentingnya ilmu bayan tersebut, yakni dengan menelurkan bukti-bukti yang menunjukan keterkaitan antara ilmu bayan, nahwu dan syair yang dapat digunakan sebagai titik tolak penafsiran al Qur’an sebagai mukjizat, yang tidak hanya dilihat dari pemilihan diksinya dan bukan pula dari hanya dari maknanya saja, tetapi juga dari retorika bahasa yang terdapat dalam al Qur’an.
Adapun beberapa murid-murid al Jurjani antara lain : Yahya Bin Ali Khatib, Abi Nasr Ahmad Bin Ibrahim Bin Syajari dan Ali Bin Zaid Alfayahi. Pun, mereka telah menyebarkan ilmunya di Irak dan di Baghdad sesuai dengan apa yang telah ia pelajari dari Al Jurjani.
 Apabila ditelisik lebih jauh perihal keadaan keluarga Al Jurjani, maka kita hanya akan mendapatkan keluarga kecil dan sangat sederhana, yang tidak bergelimang harta maupun emas, tapi kondisi demikianlah yang menempanya untuk  zuhud.
Dikisahkan, ketika Al-Jurjani shalat, seorang maling  masuk  dalam rumahnya dan mengambil seluruh barang yang terdapat dalam rumah itu, meskipun ia melihat pencuri tersebut, tapi tak sedikitpun ia bergerak meninggalkan shalatnya dan mengorbankan hartanya demi shalatnya. Sungguh  kisah sederhana yang sirat akan makna. Keistimewaan Al-Jurjani yang tidak dimiliki oleh seluruh sastrawan-sastrawan lainnya kecuali hanya beberapa saja adalah daya analisa yang ia milikinya, hal tersebut ia buktikan dalam beberapa analisanya tentang berbagai karya sastrawan-satrawan lainnya seperti Sibaweh dan Jahidz, begitupun teori yang ia gunakan dalam membahas pelbagai pembahasan sastra dan  retorika bahasa, meskipun menggunakan bahan landasan dan titik tolak yang sama, tetapi ia berusaha melihat dari pelbagai sisi yang berbeda. Sastrawan besar ini meninggalkan dunia pada abad ke lima  pada tahun 474 H meskipun tahun terdapat perbedaan pendapat perihal tahun meninggalnya akan tetapi beberapa pendapat menguatkan bahwa pada tahun tersebut ia wafat. [6]
Kiranya, torehan diatas mampu mewakili gambaran singkat tentang seorang sastrawan besar dan harus diakui penulis bahwa penulisan biografi kehidupan seorang tokoh besar seperti al Jurjani sesungguhnya tidak cukup hanya dituangkan dalam torehan kecil ini. Akan tetapi, yang amat disayangkan adalah, kini banyak pembahasan tentang retorika bahasa beserta cabang-cabangnya, tetapi hanya mengambil formulanya saja tanpa mempelajari lebih dalam perihal  kehidupan peracik formula tersebut. Maka akan sangat jarang kita temui pembahasan yang mempelajari sosok-sosok hebat dibalik karya yang fenomenal, kecuali hanya beberapa dari mereka yang menyadari akan pentingnya perihal tersebut. 
Setelah membahas tentang biorafi  sang sastrawan maka layaknya kini kita akan membahas sepak terjangnya dalam sastra bahasa arab pada abad ke lima hingga jejaknya yang diikuti oleh sastrawan-satrawan yang lahir setelahnya.



Abdul Qahir Al Jurjani dan Ilmu Bayan.
Telah diutarakan penulis sebelumnya, bahwa nama Al Jurjani sering kali dikaitkan dengan salah satu cabang retorika bahasa yang kerap dikenal dengan Ilmu Bayan. Kerap kali menjadi pertanyaan, mengapa ia lebih sering dihubungkan dengan ilmu tersebut daripada cabang-cabang ilmu retorika bahasa lainnya, padahal pada saat itu ia bukanlah satu-satunya sastrawan yang mengeksplorasi ilmu tersebut. Pun, ia tidak hanya menelurkan karyanya pada cabang ini saja, tetapi ia juga mendalami berbagai cabang ilmu tersebut yang lainnya seperti ilmu Ma’ani dan ilmu Badi’? Dalam paparan singkat ini, penulis berusaha menerangkan sedikit penjelasan perihal permasalahan tersebut.
Ilmu bayan secara epistimologi dapat diartikan sebagai sebuah cabang ilmu yang membahas tentang penataan suatu makna hingga dapat disajikan dengan beragam cara, tetapi tetap memiliki nilai dan petunjuk yang berkaitan dengan maksud yang ingin disampaikan.[7] Pengertian tersebut telah disetujui beberapa sastrawan-sastrawan lainnya, diantaranya adalah Zamakhsyari penulis tafsir al-Kasyaf. Hal ini diperjelas dengan contoh sebagai berikut :
( جاءتني ليلي ------ ليلي جاءتني )
Dua kalimat diatas mempunyai arti yang sama akan tetapi dengan tatanan bahasa yang berbeda. Tentu, tatanan yang berbeda ini bukan hanya kebetulan saja, tetapi mempunyai maksud tertentu yang dituju. Menurut Ibn Khaldun dalam bukunya Al Muqodimah, ia menerangkan bahwa dalam tatanan diatas, kata yang didahulukan menyimpan makna lebih didahulukan daripada kata yang datang selanjutnya, seperti kalimat (جاءتني ليلي). Maka, seseorang yang mengutarakan hal demikian, lebih mementingkankan kehadiran Laila daripada sosoknya. Sedangkan, seseorang yang mengutarakan (ليلي جاءتني ) maka makna yang terkandung adalah ia lebih mengedepankan sosok Laila daripada kehadirannya.[8]
Berbicara menengenai disiplin ilmu bahasa, tentu tidak akan terlepas dari bagian-bagian ilmu tersebut, terutama perihal penyusunan syair. Penyusunan syair dapat diartikan sebagai penyelarasan satu kata dengan kata lainnya hingga menghasilkan kausalitas yang berhubungan.[9] Hal tersebut telah ada sejak dahulu, bertepatan pada saat umat manusia lebih difokuskan perihal pencarian titik-titik kemukjizatan Al Qur’an.
Ketika Al Jurjani mempelajari ilmu nahwu dan ia mengekplorasi ilmu tersebut hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa adanya keselarasan dalam ilmu tersebut sebenarnya tidak terlepas dari sisi-sisi kemukjizatan al Qur’an. Hal tersebut dibuktikan oleh sastrawan yang datang setelahnya yang menemukan keserasian antara ilmu tersebut dengan sejenisnya dalam memahami kemukjizatan Al Qur’an. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengasumsi bahwa ilmu bayan terlebih susunan syair menduduki posisi yang lebih tinggi daripada cabang retorika bahasa lainnya, di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Abu Abdullah Muhamad Bin Yazid Al Washati (306 H) dalam bukunya “I’jaz Al-Qur’an fi Nadzmihi wa Tafsilihi”, Abu Sulaiman Ahmad bin Muhamad bin Ibrahim al Hitaby (388 H), Abu Bakar Muhamad bin Thayib al Baqilani ( 403 H ), serta Al-Qadhi Abdul Jabar Al-Asad Al-Abadi (415 H).[10]
Kondisi susunan syair yang sebelumnya tak dihiraukan, pada abad kelima berubah menjadi sorotan eksplorasi oleh al Jurjani. Maka mulai saat itu, ilmu ini mulai berkembang dikalangan sastrawan, meskipun ada beberapa sastrawan yang menganggap bahwa syair beserta bagian-bagiannya, terlebih Tasybih, Isti’arah dan Majaz, sangat berkaitan sekali dengan kebohongan, karena mereka memposisikan kata tidak pada tempatnya, tetapi hal tersebut tidak diamini oleh Al-Jurjani. Menurutnya meskipun demikian adanya, tetapi syair beserta susunan pembentuknya tidaklah demikian. Karena, meski ia meletakan suatu kata tidak pada posisinya, tetapi ia memakai hal tersebut karena adanya relevansi makna, baik itu dari asasnya ataupun dari cabang-cabangnya.[11]
Menurut Al Jurjani  syair yang bermutu adalah syair yang mempunyai daya sentuh dan dihasilkan dari pengamatan yang mendalam terhadap suatu peristiwa, seperti peristiwa terbit dan terbenamnya matahari yang disaksikan oleh seluruh umat manusia.
Dari sini dapat dilihat, bagaimana seorang penyair yang handal dapat mengamati gerakan-gerakan tersebut secara mendetail, yang tidak hanya melihat dari globalnya saja, tetapi juga melihat ke bagian-bagian partikularnya, dan menuangkannya dalam kata-kata yang indah hingga dapat dinikmati oleh halayak ramai.[12] Meskipun para pakar kritik sastra sering kali tidak sependapat dengan al Jurjani, tetapi dalam permasalahan ini mereka menyetujui pendapat al Jurjani. Bahkan ditambahkan pula bahwa syair yang baik mempunyai daya efektifitas dari syair yang dihadirkan. Selain hal tersebut, ada satu hal lagi yang pendapat mereka tidak bertentangan yakni pengutamaan Isti’arah daripada Tasybih.[13]
Apabila kita mengeksplorasi ilmu bayan lebih dalam, maka kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya gagasan dan ide tersebut sudah ada, bahkan sebelum datangnya Islam, yakni sejak masa Aristoteles. Akan tetapi gagasan tersebut belum matang hingga Abu Ubaidah yang merupakan murid Khalil Ahmad menuangkannya dalam bukunya.
Akan tetapi, karya tersebut belum sempurna, hingga diracik dan dimatangkan kembali oleh Abdul Qahir Al Jurjani.[14] Oleh sebab itu, para sastrawan yang hadir setelah Al-Jurjani hanya menambah dan mengisi kekurangan dari manuskrip Al Jurjani. Maka tak ayal, bila nama Al-Jurjani kerap dikenal dengan berkibarnya nama ilmu Bayan. Meski demikian, dia tidak mengesampingkan cabang ilmu lainnya.
Dari paparan di atas, kita dapat menggambarkan Al Jurjani sebagai seorang sastrawan besar yang banyak menghasilkan konstribusi bagi ilmu retorika bahasa, diantaranya adalah :
1.      Pengeksplorasiaan dalam karakteristik  metafora dalam sastra arab,
2.      Pemecahan Isti’arah menjadi bagian yang bermutu dan bagian yang kurang baik,
3.      Klasifikasi jenis Isti’arah,
4.      Menjadikan pembahasan Isti'arah mengkristal terutama pada abad kelima,
5.      Menghasilkan konsep konsistenitas dalam Isti'arah yang tidak berbeda dengan para sastrawan sebelumnnya, tapi dengan konsep yang lebih matang.[15]
Meskipun demikian Al-Jurjani hanyalah manusia biasa yang tak akan pernah luput dari kesalahan,  begitupun dalam usahanya ini, adapun beberapa hal tersebut :
1.      Dalam pembahasan al Jurjani perihal Isti'arah ia lebih mengedepankan nalar seorang ahli kalam daripada nalar mantiknya.
2.      Ia menjadikan sastrawan-sastrawan hanya disibukan dengan ragam pembagiannya dan melengahkan mereka dalam mencari tahu akar sumber  teori tersebut
3.      Dengan pemecahan klasifikasi syair yang baik maka ia seakan membuat tasybih adalah suatu usaha yang diciptakan dan bukan lahir dari nalar, hal ini bertentangan dengan banyak sastrawan yang menganggap bahwa syair adalah suatu gerakan spontanitas .
4.      Dalam klasifikasinya yang menjadikan ketelitian dan pemecahan dalam Tasybih sebagai akar dari syair, menjadikannya berbeda pendapat dengan sastrawan lainnya yang menganggapnya bukan sebagai akar meskipun, bahkan mereka tidak memungkiri untuk menjadikannya sebagai landasan.[16]
Walaupun demikian, apabila dilihat dari sisi lain, maka kita akan terpana menyaksikan seorang sastrawan yang menekuni ilmunya dengan tujuan mulia yakni untuk berkhidmat untuk agamanya dan agar ia dapat menolak dan menentang bid’ah-bid’ah yang muncul di sekelilingnya dengan bukti dan dalil yang kuat. Maka tak heran, bila gerakan al Jurjani ini selalu berada dalam mainframe agama.
Setelah mempelajari pengaruh Al-Jurjani pada bidang sastra dan dedikasinya yang tinggi terhadap agama islam, maka kini kita menelisik beberapa karyanya yang hingga kini masih digunakan sebagai rujukan dan tak pernah punah termakan oleh zaman.


Sekilas Pandang  Asrar Balaghah dan Dalail I’jaz.
Kitab Asrar Balaghah pada abad modern ini hadir di abad 20 lebih tepatnya pada tahun 1902 M / 1320 H yang merupakan hasil kerja keras dan upaya seorang rekonstruktor mesir pada saat itu yaitu Imam Muhamad Abduh, setelah kembalinya dari pengasingan selama bertahun-tahun dan juga setelah ia diangkat menjadi mufti.[17]
Adapun kisah menarik yang diungkapkan salah seorang muridnya yang ternama, Rasyid Ridhâ, ketika ia datang ke Mesir untuk menemui gurunya perihal pembukuan tafsir al Manâr, ia dikejutkan ketika mendapatkan bahwa sang guru ketika itu sedang disibukan dengan pembukuan kembali karya Al Jurjani setelah sekian lama karya tersebut hampir hilang dan terlupakan.
Tentu, usaha yang membutuhkan tenaga yang cukup keras ini, Muhamad Abduh lakukan dengan landasan yang kuat dan dorongan kesadaran akan pentingnya karya fenomenal ini. Dapat disebutkan, bahwa pembukuan kembali karya fenomenal ini bukanlah hal yang mudah, karena untuk penyusunannya kembali membutuhkan manuskrip Al-Jurjani yang otentik.
Hal demikian diungkapkan oleh Mahmud Muhamad Syakir ketika ia berusaha membukukan kembali buku tersebut, ia menerangkan beberapa kesulitan yang ia hadapi dalam mendapatkan rujukan manuskrip yang otentik tersebut hingga akhirnya ia mendengar terdapat beberapa kota yang masih menyimpan karya asli Al jurjani dan diantaranya di Syam oleh Abdul Qadir Al Maghribi serta Dar Sultan Usmaniyah akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut ternyata semuanya telah lenyap hingga akhirnya Mahmud Muhamad Syakir menjadikan hasil pembukuan kembali yang dilakukan oleh Al-Jurjani sebagai salah satu rujukan dalam tulisannya yang mencari akan keotentikan karya al Jurjani.
Akan tetapi, ia merasa bahwa pembukuan tersebut masih kurang, hingga ia mendapatkan bahwa Ratcher, seorang orientalis,  menjadikan beberapa buku klasik yang ia dapatkan sebagai rujukan, tiga diantaranya adalah : cetakan Faydullah ( 947 H ), cetakan Hamidiyah ( 943 H ) serta cetakan Murad.[18]
Maka, selain pembukuan yang dilakukan kembali oleh Muhamad Abduh dan Ratcher, Mahmud Muhamad Syakir menjadikan tiga buku diatas pula sebagai landasannya walaupun masih terdapat beberapa perbedaan dalam tiga cetakan tersebut.
Selain menjadikan hasil pembukuan kembali Muhamad Abduh dan Ratcher sebagai rujukan maka iapun membahas kembali dan meneliti akan beberapa kekeliruan yang terdapat dalam kedua buku tersebut, hingga ketika Rashid Ridha menyatakan bahwa gurunya telah mengganti beberapa tulisan dalam buku tersebut, setelah ia analisa kembali ia tidak mendapatkan perihal yang diungkapkan Rashed Ridha, kecuali hanya sedikit saja.
 Adapun pembukuan yang dilakukan Ratcher sudah dapat dikatakan pembukuan yang baik, hanya saja menurutnya, gaya penulisan Ratcher saja yang masih sedikit kaku dan ia banyak sekali mengutip syair-syair yang menurutnya tidak terlalu urgen untuk dikutip.[19]
            Berselang setahun setelah penyusunan kembali buku Asrar Balaghah yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, ia telah berusaha untuk menyusun kembali salah satu karya Al Jurjani yang lain yakni buku Dalail i’jaz,[20] dan setelahnya hadirlah beberapa tokoh lainnya yang mengusahakan kembali pembukuan buku tersebut.
Maka tidak berlebihan bila disebutkan bahwa Muhamad Abduh sang inspirator yang menginspirasi beberapa tokoh setelahnya untuk melakukan usaha pembukuan kembali karya yang hampir terlupakan tersebut dan salah satu dari tokoh tersebut adalah Mahmud Muhamad Syakir yang telah disebutkan penulis sebelumnya dalam usahanya pembukuan kembali buku Asrar Balaghah.
Dalam pembukuan kembali buku Dalail I’jaz ini, ia tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam mendapatkan manuskrip Al-Jurjani yang otentik dikarenakan masih terdapat beberapa daerah yang memiliki manuskrip tersebut, diantaranya di Turki yang masih menyimpan manuskrip tersebut pasca 97 tahun meninggalnya Al Jurjani yakni tepatnya pada tahun 568 H di Husein Jalbi Ma'ani yang berjumlah 203 halaman.
Selain tempat tersebut, As’ad Afandi pun masih menyimpan manuskripnya pada perkisaran abad ke 6-7 H selain di Turki,  Madinah dan Baghdad pun masih terdapat manuskrip Dalail I’jaz, tentu hal ini sangat membantu Mahmud Muhamad Syakir dalam pembukuannya terhadap karya al Jurjani. Akan tetapi, usaha yang ia lakukan tidak akan pernah lepas dari pelbagai problem yang menyapanya. Dan, ketika melakukan pembukuan ini ia mengungkapkan akan beberapa kesulitan yang ia hadapi karena terdapat beberapa tulisan yang mempunyai makna yang masih samar serta pembaban serta pembukuan Dalail I’jaz yang menurutnya kurang sesuai, hingga ia membaca tulisan Abdul Jabar  yang hidup pada tahun 415 H. Ketika itu ia seolah mendapatkan jawaban akan beberapa pertanyaan yang membuatnya dilema dan menjelaskan perihal yang ia anggap gamang sebelumnya.
Adapun pembukuan dan penjilidan yang menurutnya kurang baik tersebut, ternyata hal tersebut dapat dimaklumi, melihat perhelatan politik yang menekan Al Jurjani pada masa tersebut dan terlebih karena ternyata karya tersebut ia tulis menjelang hari-hari terakhirnya.[21]

Selain Dalail I’jaz dan Asrar Balaghah masih tedapat beberapa karya al Jurjani lainnya :
1.      Al-Madkhol fi Dalail I’jaz
2.      Araul Jurjani
3.      Al-Ijaz
4.      Al-Maghna
5.      Al-Muqtashad
6.      Al-Awamil al mi’ah
7.      Al-Jamal
8.      Al-Talkhis
9.      Al-Umdah fi Tasrif
10.  Al-Iqna’ fi arudl wa takhrij qawafi
11.  Mukhtar Ikhtiyar
12.  Al-Tadzkarah
13.  Al-Miftah[22]
Akan tetapi, yang disayangkan terdapat beberapa dari buku-buku diatas yang hanya dapat kita ketahui namanya saja tanpa dapat kita ketahui kandungan dalam buku tersebut dikarenakan telah musnah dan hilangnya buku-buku tersebut.

Epilog.
Kita tidak mampu mengenal tokoh-tokoh besar yang hidup berabad-abad sebelum kita kecuali hanya melalui karyanya. Hal serupa yang penulis rasakan dalam mempelajari perihal kehidupan sastrawan besar ini, kalau bukan dari karya yang diwariskan oleh para pendahulu kita, maka kita tidak akan mengenalnya, terlebih kita tidak akan tertarik dalam mendalami sosoknya lebih dalam maka kiranya dengan beberapa karya yang diwarisi al Jurjani membuat pencerahan bagi kita dalam mempelajari sastra terlebih dalam permasalahan sastra arab karena bangsa arab kaya akan kebudayaan dan sastra.






Daftar Pusaka 
1.      Dalâil Al- I’jâz, karya Al Imam abdul Qahir al Jurjani, cetakan Darul Ma’rifah, Beirut.
2.      Dalâil Al- I’jâz, karya Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman bin Muhamad Al Jurjani an Nahwi, cetakan Dârul Madani, Jedah.
3.      Asrâr Al-Balaghah, karya Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman bin Muhamad Al Jurjani Al-Nahwi, cetakan Darul Madani, Jeddah.
4.      Jawâhir Al-Balâghah, karya As-sayid Ahmad Al-Hasyimi, cetakan Muasasah Al Mukhtâr.
5.      Al-Shûrah Al-Fanniyah, karya DR Jabir Ahmad Ushfûr, cetakan Dârul Ma’ârif, Mesir.
6.      Al-Jurjani ; Balâghatuhu wa Naqduhu, karya Ahmad Mathlub, cetakan Al-Matbû’ât Al-Matbû’ât, Beirut.
7.      Wikipedia.



[1] Makalah ini dipresentasikan pada kajian eksklusif Salsabila Studi Club pada 24 Juli 2010.
[2] Penulis saat ini tercatat sebagai Mahasiswi baru Fakultas Dirasat Islamiyah Jurusan bahasa arab Universitas Al Azhar, Kairo.
[3] Ahmad Mathlub, AL-Jurjani;  Balaghatuhu wa Naqduhu, Wakâlat Al-Matbu’ât, Beirut. Hal 11.
[4] Wikipedia.
[5] Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu wa Naqdhu, Op. Cit., Al-Matbû’ât Al-Matbû’ât, Beirut hal 14.
[6] Ibid, hal 24.
[7] As-Sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawâhir Al- Balâghah,  Muasasah Al-Mukhtâr,  hal 4.
[8] Ibid, hal  .. .
[9] Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu wa Naqdhu, Op. Cit  Wikâlat Matbu’at, Beirut hal 51
[10] Ibid, 54.
[11] DR Jabir Ahmad Ushfûr, Al-Sûroh Al Fanniyah, cetakan Dârul Ma’ârif, Mesir. Hal 142.
[12] Ibid, hal 205.
[13] Ibid, hal 269.
[14] As-sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawahir BalaghahOp. Cit  Muasasah A- Mukhtâr hal 205
[15]  DR Jabir Ahmad Ushfur, Al-Sûroh Al Fanniyah, cetakan Darul Ma’ârif, Mesir. hal 272.
[16]  Ibid, hal 209
[17] Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu wa Naqdhu, Op. Cit  Wikâlat Al-Matbû’ât, Beirut, hal 37.
[18] Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman bin Muhamad AlJurjani Al-Nahwi, Asrâr Al-Balâghah, cetakan Dârul Madani, Jedah. Hal 4
[19] Ibid, hal 6.
[20] Al-Imam Abdul Qahir Al-Jurjani, Dalâil Al-I’jaz,  Dârul Ma’rifah, Beirut. Hal 5

[21] Abu Bakar Abdul Qahir Bin Abdur Rahman bin Muhamad Al-Jurjani AL-Nahwi, Dalail I’jaz,  Dârul Madani, Jeddah.


[22]   Ahmad Mathlub, AL Jurjani Balaghatuhu wa Naqdhu, Op. Cit  Wikalât Al-Matbû’ât, Beirut, hal 40.